Memahami kesehatan keuangan perusahaan bukan lagi sekadar proses evaluasi akuntansi melainkan pondasi utama dalam menyusun arah bisnis yang berkelanjutan.
Di tengah tekanan ekonomi makro, disrupsi industri, dan dinamika pasar yang makin cepat berubah, kapabilitas untuk membaca laporan keuangan secara komprehensif menjadi alat navigasi yang krusial bagi setiap pengambil keputusan di level puncak.
Lebih dari sekadar mengetahui posisi untung dan rugi, pendekatan ini mencakup pembacaan struktur modal, kemampuan menghasilkan profit yang berkelanjutan, serta kekuatan arus kas sebagai penggerak utama strategi pertumbuhan jangka panjang.
Melalui tiga indikator fundamental, likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas, manajemen dapat mengidentifikasi risiko sejak dini, mengevaluasi efisiensi operasional, serta memastikan perusahaan berada dalam jalur finansial yang sehat dan kompetitif, berikut caranya.
Pahami Dasar Laporan Keuangan

Penilaian keuangan yang solid selalu dimulai dari pemahaman terhadap tiga laporan utama, neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas. Ketiganya diibaratkan tiga cermin yang memantulkan kondisi keuangan perusahaan dari sudut pandang yang berbeda, tapi saling melengkapi.
1. Neraca (balance sheet)
memberi gambaran posisi aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan pada suatu titik waktu. Dari neraca, kita bisa melihat seberapa sehat struktur modal perusahaan: apakah aset lebih banyak didanai oleh utang atau oleh modal sendiri?
Misalnya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dalam laporan keuangan kuartal III pada tahun 2023 mencatat total aset sebesar Rp63,9 triliun dengan liabilitas Rp32,3 triliun dan ekuitas Rp31,6 triliun.
Ini berarti struktur modalnya relatif seimbang, dengan debt-to-equity ratio sekitar 1,02. Rasio ini memberi sinyal bahwa perusahaan tidak terlalu bergantung pada pembiayaan eksternal untuk operasinya (sebuah indikator positif dari sisi kestabilan keuangan.)
3. Laporan Laba Rugi (income statement)
menunjukkan seberapa efisien perusahaan menghasilkan keuntungan dari pendapatan yang masuk. Di sini, kita bisa melihat bagaimana pendapatan dikurangi oleh beban operasional, pajak, hingga akhirnya menghasilkan laba (atau kerugian).
Sebagai contoh, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) membukukan pendapatan sebesar Rp152,3 triliun pada tahun 2023, dengan laba bersih mencapai Rp24,6 triliun.
Dengan net profit margin sekitar 16%, Telkom menunjukkan efisiensi operasional yang sangat baik di industri telekomunikasi, di mana persaingan dan tekanan infrastruktur cukup tinggi.
3. Laporan Arus Kas (cash flow statement)
Laporan arus kas menggambarkan pergerakan uang masuk dan keluar perusahaan dalam tiga aktivitas utama: operasional, investasi, dan pendanaan.
Memahami laporan ini sangat penting karena tidak sedikit perusahaan yang terlihat menguntungkan dalam laporan laba rugi, namun sebenarnya mengalami tekanan likuiditas akibat arus kas operasional yang terus-menerus negatif. Hal ini diulas secara mendalam dalam artikel Ekuitas Advisory berjudul “Profits with Negative Cash Flow”
Membaca ketiga laporan ini secara terpadu sangat penting. Karena hanya mengandalkan satu laporan saja, bisa memberikan gambaran yang menyesatkan. Inilah dasar yang harus dikuasai sebelum masuk ke analisis rasio atau benchmarking.
Analisis Kesehatan Finansial Menggunakan Rasio Keuangan

Para analis dan ahli biasanya melihat dari empat dimensi utama, likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, dan efisiensi operasional. Masing-masing kelompok rasio memberikan insight yang berbeda, dan ketika dibaca secara terpadu, bisa membentuk gambaran menyeluruh tentang kondisi finansial suatu perusahaan.
Membaca laporan keuangan tanpa menginterpretasikan rasio-rasio ini ibarat mendiagnosis pasien hanya dari tekanan darah saja tanpa melihat suhu tubuh, detak jantung, atau saturasi oksigen.
1. Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya menggunakan aset lancar. Dua rasio utama di sini adalah Current Ratio dan Quick Ratio, berikut rumusnya.
Current Ratio = Aset Lancar / Liabilitas Jangka Pendek
Rasio ini menunjukkan berapa banyak aset lancar yang dimiliki perusahaan untuk menutupi setiap satu rupiah utangnya yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat. Sebagai patokan umum, Nilai ideal biasanya antara 1,5 hingga 2,0, tapi ini sangat tergantung pada industrinya.
Sektor ritel atau distribusi bisa mentoleransi rasio lebih rendah karena siklus kasnya cepat, sedangkan manufaktur dan properti butuh bantalan lebih besar. Contohnya, PT Unilever Indonesia Tbk secara konsisten mempertahankan current ratio antara 1,5 hingga 2. Artinya, untuk setiap Rp1 utang jangka pendek, perusahaan memiliki Rp1,5–2 dalam bentuk kas, piutang, atau persediaan, cukup untuk meredam tekanan likuiditas tanpa harus mencari utang tambahan.
Tapi, current ratio yang terlalu tinggi justru bisa mengindikasikan bahwa aset lancar tidak dimanfaatkan secara optimal. Dalam konteks bisnis, itu bisa berarti ada terlalu banyak kas yang tidak diinvestasikan, atau persediaan yang tidak bergerak. Dua hal yang bisa menurunkan potensi laba.
Sementara, Quick Ratio menghilangkan persediaan dari perhitungan. Ini berguna di sektor seperti manufaktur, di mana persediaan bisa butuh waktu lama untuk dikonversi jadi uang tunai. Quick ratio yang rendah di sektor tersebut bisa menjadi red flag bagi investor.
2. Rasio Solvabilitas
Jika rasio likuiditas berbicara tentang hari ini dan besok, maka rasio solvabilitas menyasar fondasi jangka panjang. Solvabilitas tidak sekadar soal punya utang atau tidak, tapi lebih dalam kepada bagaimana komposisi utang dan ekuitas mencerminkan keseluruhan manajemen risiko perusahaan.
Rasio solvabilitas mengukur sejauh mana perusahaan mampu menanggung beban utang jangka panjangnya tanpa mengorbankan stabilitas finansial. Ia memberikan gambaran tentang struktur pendanaan, yaitu seberapa banyak perusahaan dibiayai oleh modal sendiri dibanding oleh pinjaman.
Ini penting karena utang dalam jumlah besar bisa meningkatkan risiko gagal bayar, terutama jika pendapatan perusahaan fluktuatif atau biaya bunga meningkat. Nah, untuk menilai ini, ada dua rasio yang sangat penting dan saling melengkapi yaitu, Debt to Equity Ratio (DER) dan Interest Coverage Ratio, ini penjelasan lengkapnya.
Discover More : Cost-Benefit Analysis as the Basis for Decision-Making in Microeconomics and Business to Business (B2B) Projects
- Debt to Equity Ratio (DER)
Debt to Equity Ratio atau DER merupakan rasio yang mengukur seberapa besar proporsi utang perusahaan dibandingkan dengan ekuitas atau modal sendiri. Rasio ini juga menjadi indikator utama solvabilitas karena mencerminkan struktur pembiayaan dan tingkat ketergantungan perusahaan terhadap dana eksternal (seperti pinjaman atau kreditur) dibandingkan dengan kontribusi dari pemilik modal.
Rumus Menghitung DER:
DER = Total Utang / Ekuitas
Angka DER yang cenderung tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan lebih agresif dalam menggunakan utang untuk membiayai operasional atau ekspansinya. Hal ini bisa menjadi strategi pertumbuhan yang sah, selama arus kas perusahaan tersebut cukup kuat untuk membayar kewajiban. Namun, DER yang terlalu tinggi juga meningkatkan risiko finansial, terutama jika pendapatan tidak stabil.
Sebaliknya, DER yang terlalu rendah bisa berarti perusahaan terlalu konservatif. Meskipun ini mencerminkan risiko yang lebih rendah, perusahaan bisa saja melewatkan kesempatan untuk berkembang lebih cepat karena terlalu mengandalkan modal sendiri.
Sebagai contoh, Indofood CBP (ICBP) yang mencatat DER sekitar 1,02 per kuartal III 2023. Ini menunjukkan struktur pembiayaan yang cukup seimbang, tidak terlalu agresif, tapi cukup fleksibel untuk mendanai ekspansi. Di sektor makanan yang cash flow-nya stabil, rasio seperti ini dinilai sehat.
Sebaliknya, GoTo (Gojek Tokopedia) di awal pasca-IPO mencatat DER tinggi karena mengandalkan pinjaman dan investasi eksternal untuk mempercepat pertumbuhan. Namun ketika investor mulai menuntut efisiensi dan profitabilitas, struktur utang yang besar justru menjadi hambatan, memaksa perusahaan memangkas biaya dan me restrukturisasi portofolio.
Dari perbandingan antara Indofood CBP dan GoTo, kita bisa melihat bahwa struktur utang yang ideal sangat bergantung pada konteks industri dan tahap perkembangan perusahaan. Artinya, DER yang sehat bukan tentang rendah atau tingginya angka, tapi tentang kesesuaian antara struktur pembiayaan, karakter bisnis, dan kemampuan menghasilkan cash flow secara stabil dan berkelanjutan.
- Interest Coverage Ratio (ICE)
Jika DER membahas tentang berapa utang yang dimiliki perusahaan, maka Interest Coverage Ratio (ICE) menjawab pertanyaan “Apakah perusahaan punya kemampuan untuk membayar bunga utang tersebut secara konsisten, tanpa mengganggu operasionalnya?”
ICE adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan membayar bunga dari laba operasionalnya (EBIT). Ini penting karena bunga utang adalah kewajiban tetap yang harus dibayar terlepas dari kondisi bisnis. Ketika bunga tidak bisa dibayar, maka risiko gagal bayar (default) meningkat drastis.
Rumus untuk menghitung ICE adalah,
ICE = EBIT / Beban Bunga
- EBIT (Earnings Before Interest and Taxes): adalah laba usaha murni, belum dikurangi bunga dan pajak
- Beban bunga: seluruh kewajiban bunga pinjaman dalam satu periode
Mengapa ICE menjadi sangat penting? Banyak perusahaan bangkrut bukan karena tidak untung, tapi karena tidak mampu membayar bunga atau cicilan dalam waktu dekat. Dalam kondisi pasar yang volatile atau saat suku bunga naik, perusahaan yang punya ICE rendah akan menjadi sangat rentan.
Interpretasi Angka ICE
- ICE < 1: perusahaan tidak punya cukup laba operasional untuk membayar bunga. Ini sinyal bahaya—arus kas sangat tertekan.
- ICE = 1–2: situasi rawan, masih bisa membayar bunga tapi tidak punya ruang napas jika laba turun sedikit saja.
- ICE > 3: tergolong sehat—perusahaan punya cukup margin laba untuk menanggung bunga sekaligus menjaga kelangsungan operasional.
- ICE > 5: perusahaan punya keleluasaan penuh, bisa memakai utang sebagai alat ekspansi tanpa beban jangka pendek yang berat.
Sebagai contoh PT Garuda Indonesia. Menjelang krisis pandemi, Garuda memiliki beban utang yang besar dari leasing pesawat dan pinjaman jangka panjang. Ketika pandemi memukul sektor penerbangan dan pendapatan menurun tajam, ICE Garuda anjlok ke bawah 1.
Artinya, laba operasional tidak lagi cukup untuk membayar bunga. Perusahaan akhirnya gagal membayar kewajibannya, masuk dalam restrukturisasi utang, dan menjalani proses PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang).
Contoh diatas menunjukan, meskipun punya aset besar dan pangsa pasar luas, tanpa ICE yang sehat perusahaan tidak punya daya tahan menghadapi krisis.
3. Rasio Profitabilitas
Tak sedikit perusahaan tampak tumbuh di atas kertas, pendapatan naik, pelanggan bertambah, dan lini produk meluas. Namun di balik semua itu, muncul satu pertanyaan penting, apakah pertumbuhan tersebut benar-benar menghasilkan keuntungan yang sehat? Inilah esensi dari risiko profitabilitas, yaitu kemampuan perusahaan menciptakan nilai ekonomis yang berkelanjutan dari operasional bisnisnya.
Biasanya, risiko profitabilitas timbul ketika perusahaan tidak mampu menghasilkan keuntungan yang memadai dari kegiatan operasionalnya. Untuk mendeteksi potensi risiko ini, kita menggunakan sejumlah rasio keuangan yang menilai efisiensi, efektivitas, dan kekuatan margin perusahaan dalam menghasilkan laba.
Return on Assets (ROA)
ROA mengukur seberapa efektif perusahaan menggunakan seluruh aset yang dimilikinya untuk menghasilkan laba bersih. Ini merupakan indikator efisiensi operasional secara menyeluruh. Semakin tinggi ROA, semakin besar keuntungan yang dihasilkan dari setiap unit aset.
ROA = Laba Bersih / Total Aset
Sebagai contoh, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) pada tahun 2023 membukukan laba bersih sebesar Rp5,4 triliun dari total aset Rp19,5 triliun. Ini berarti ROA mereka sekitar 27,7%. Angka ini sangat tinggi, menandakan bahwa aset yang dimiliki (pabrik, persediaan, maupun jaringan distribusi) dimanfaatkan secara sangat efisien untuk mencetak laba bersih
Return on Equity (ROE)
Jika ROA fokus pada total aset, maka ROE berfokus pada efisiensi penggunaan modal pemegang saham. ROE menggambarkan seberapa besar laba yang berhasil dihasilkan dari dana yang ditanamkan investor. Investor sangat memperhatikan rasio ini karena langsung berkaitan dengan imbal hasil dari investasi mereka.
Contoh yang nyata adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Di tahun 2023, BCA mencatat laba bersih Rp48,6 triliun dari total ekuitas Rp238 triliun, menghasilkan ROE sekitar 20,4%.
Untuk sektor perbankan, angka ini tergolong sangat baik. Ini menandakan bahwa BCA bukan hanya efisien dalam mengelola aset kredit dan dana pihak ketiga, tapi juga pandai mengoptimalkan modal yang ditanamkan oleh pemegang saham.
ROE yang tinggi biasanya mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki strategi yang menguntungkan dan efisien. Namun, ROE juga bisa “tampak” tinggi jika ekuitas sangat kecil akibat akumulasi utang, ini sebabnya ROE sebaiknya dibaca bersama DER.
Discover More : The Future of ASEAN: Building Economic Resilience Through Regional Trade
- Net Profit Margin dan Gross Profit Margin
Ketika sebuah perusahaan mencatat penjualan yang besar, pertanyaan berikutnya adalah berapa sebenarnya yang benar-benar menjadi keuntungan? Di sinilah kita perlu memahami dua indikator penting, gross profit margin dan net profit margin. Keduanya membantu kita menilai efisiensi dan ketahanan keuangan perusahaan dalam menghasilkan laba dari proses bisnisnya.
Gross profit margin menggambarkan sisa uang yang dimiliki perusahaan setelah membayar semua biaya langsung yang berkaitan dengan produksi barang atau jasa. Ini seperti melihat “uang kotor” yang masih tersedia untuk menutupi biaya lain seperti gaji, listrik, iklan, atau riset. Semakin tinggi margin ini, semakin efisien perusahaan dalam mengelola biaya produksi.
Gross Profit Margin = (Laba Kotor / Pendapatan) × 100%
Sementara itu, net profit margin melihat sisa paling akhir, berapa banyak dari seluruh pendapatan yang benar-benar menjadi laba bersih setelah semua beban dikurangi, termasuk biaya operasional, bunga pinjaman, hingga pajak. Margin ini menunjukkan seberapa efektif perusahaan dalam mengubah pendapatan menjadi keuntungan bersih.
Net Profit Margin = (Laba Bersih / Pendapatan) × 100%.
Untuk memahami lebih konkret, mari kita lihat data dua perusahaan besar Indonesia.
Pertama, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) pada tahun 2023 mencatat pendapatan sebesar Rp30,8 triliun dan laba kotor sekitar Rp13,5 triliun. Jika kita hitung, gross profit margin Kalbe yaitu,
(13,5 / 30,8) × 100% ≈ 43,8%
Angka ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari pendapatan Kalbe masih tersisa setelah semua biaya produksi dibayar—ini sangat sehat untuk industri farmasi, menandakan pengelolaan biaya bahan baku dan proses manufaktur yang efisien.
Lalu kita lihat PT Astra International Tbk (ASII), perusahaan dengan lini bisnis luas, dari otomotif hingga keuangan. Pada 2023, Astra membukukan pendapatan sebesar Rp316 triliun dan laba bersih Rp34,8 triliun. Maka net profit margin mereka adalah:
(34,8 / 316) × 100% ≈ 11%
Artinya, dari setiap Rp100 yang diterima Astra dari penjualan, sekitar Rp11 menjadi keuntungan bersih. Meski tidak setinggi margin Kalbe secara persentase, angka ini tetap solid mengingat kompleksitas bisnis Astra yang menyentuh banyak sektor dengan karakteristik biaya yang beragam.
Dengan membaca kedua margin ini secara bersamaan, kita bisa melihat seberapa sehat proses “perjalanan uang” dalam perusahaan, dari pendapatan bruto hingga keuntungan akhir. Gross margin berbicara tentang efisiensi produksi, sementara net margin bicara soal efisiensi menyeluruh dari hulu ke hilir.
4. Rasio Efisiensi
Kalau profitabilitas menggambarkan seberapa besar laba yang berhasil dikumpulkan, maka rasio efisiensi memberi gambaran seberapa cekatan perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya. Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, efisiensi bisa menjadi pembeda utama antara perusahaan yang bertahan dan yang tergerus pasar.
Efisiensi bukan berarti sekadar memangkas biaya. Dalam konteks strategis, efisiensi berarti mampu menciptakan hasil maksimal dengan sumber daya yang proporsional, tidak berlebihan, tidak boros.
Dua rasio yang paling sering digunakan di sini adalah:
• Total Asset Turnover
Total Asset Turnover menunjukkan berapa besar pendapatan yang berhasil dihasilkan dari setiap satu rupiah aset. Rasio ini menggambarkan produktivitas aset secara keseluruhan (gedung, mesin, hingga inventaris dan piutang).
Jika sebuah perusahaan memiliki aset besar tetapi hanya menghasilkan sedikit pendapatan, itu bisa menjadi tanda adanya inefisiensi. Aset tidak bekerja cukup keras. Sebaliknya, turnover tinggi menunjukkan bahwa aset digunakan secara produktif untuk mencetak pendapatan yang stabil.
• Operating Expense Ratio (OER)
Operating Expense Ratio menunjukkan berapa besar beban operasional perusahaan jika dibandingkan dengan pendapatannya. Ini termasuk biaya gaji, listrik, pemasaran, logistik, dan lainnya, tapi tidak termasuk harga pokok produksi (HPP) atau bunga pinjaman.
Rasio ini menggambarkan “kebocoran anggaran” operasional. Semakin tinggi nilainya, semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan bisnis sehari-hari. Jika pendapatan stagnan tapi beban operasional terus naik, maka margin akan tertekan dan profitabilitas bisa terganggu.
Itulah langkah-langkah memahami kesehatan keuangan perusahaan, dengan memahami cara membaca neraca, laporan laba rugi, dan arus kas, lalu mengaitkannya dengan rasio-rasio kunci seperti likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, dan efisiensi, Anda maupun manajemen akan memiliki pondasi yang lebih kokoh untuk menavigasi perubahan pasar.
Karena sehatnya keuangan perusahaan bukan hanya ditentukan oleh besarnya pendapatan atau tingginya aset, tapi oleh kemampuannya bertahan, beradaptasi, dan tumbuh secara berkelanjutan.
Ingin tahu seberapa sehat kondisi keuangan bisnis anda saat ini? Arghajata Consulting dapat membantu Anda menilai laporan keuangan secara menyeluruh, konsultasikan bisnis Anda bersama kami dan temukan ruang perbaikan sebelum masalah muncul.