Ada sesuatu yang sangat mengusik ketika kita menyaksikan dunia perlahan-lahan terurai di depan mata. Aliansi yang dulu kokoh kini mulai rapuh. Aturan main ekonomi global, yang dulunya dianggap bisa diandalkan, kini ditulis ulang sesuka hati. Dan bagi banyak dari kita di Asia Tenggara, pertanyaannya bukan lagi soal teori. Ini sudah menyentuh ranah pribadi. Ini bersifat politis. Ini berdampak langsung ke ekonomi kita.
Ketika mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali ke Gedung Putih dan kembali memberlakukan gelombang tarif agresif baru di tahun 2025, itu bukan sekadar berita geopolitik biasa.
Itu adalah guncangan nyata yang terasa sampai ke lantai pabrik di Bandung, operasi pelabuhan di Manila, dan jalur logistik di Bangkok. Ekspor minyak sawit Indonesia mendadak kehilangan daya saing. Penjualan chip Malaysia terganggu. Pesanan suku cadang otomotif dari Thailand dibatalkan. Hal yang kita saksikan adalah rapuhnya ketergantungan terhadap niat baik atau ketidakstabilan, pihak luar, tapi ini bukan satu-satunya peringatan keras yang kita terima.
Kebijakan ekspor China yang berubah-ubah, proteksionisme yang meningkat, dan rivalitas yang semakin dalam antara Beijing dan Washington telah mengubah jalur perdagangan global menjadi medan konflik. Ketika dua kekuatan besar bentrok, kita tidak hanya menonton, kita menerima dampaknya. Mulai dari pengalihan rute pengiriman hingga anjloknya permintaan, getarannya menyebar ke seluruh ekonomi ASEAN dengan sangat cepat dan tanpa ampun. Dan yang mengejutkan, di tengah semua ini, satu fakta tetap mencolok: perdagangan intra-ASEAN, perdagangan antar negara di kawasan sendiri hanya mencakup sekitar 21–24% dari total volume perdagangan kita. Angka ini hampir tidak berubah selama lebih dari dua dekade. Kenapa ini penting?
Karena itu berarti kita masih lebih bergantung pada dunia luar dibanding satu sama lain. Itu berarti setiap kali krisis global terjadi, kita masih terpecah, terpukul, dan hanya bisa bereaksi. Itu berarti setiap kali ada guncangan, baik berupa tarif, konflik, atau pandemi, kita selalu tergagap, bukannya berdiri di atas fondasi regional yang kokoh.
Kita suka bicara tentang solidaritas ASEAN. Tentang integrasi. Tentang komunitas. Tapi kenyataannya, sistem kita belum mencerminkan jargon-jargon tersebut.
Infrastruktur kita masih sangat timpang. Proyek besar seperti Jalur Kereta Api Singapura–Kunming tertunda bertahun-tahun. Perdagangan masih bertumpu hanya pada beberapa titik strategis seperti pelabuhan Singapura, yang membuat kawasan kita sangat rentan terhadap kemacetan dan tekanan politik. Sistem bea cukai digital kita masih belum menyatu.
Aturan asal barang (rules of origin) terlalu rumit dan mahal bagi pelaku usaha kecil. Dan hambatan non-tarif, seperti larangan ekspor mendadak atau kewajiban kandungan lokal, terus bermunculan tanpa koordinasi, merusak kepercayaan dan prediktabilitas.
Hasilnya adalah kawasan dengan potensi besar, tapi kekuatan terbatas. Sebuah blok dengan cita-cita bersama, tapi eksekusi yang tercerai-berai. Komunitas dengan ancaman bersama, tapi tanpa perisai bersama.
Kini saatnya kita bertanya jujur: apakah kita akan terus terombang-ambing di tengah ketidakpastian global? Ataukah akhirnya kita akan berlabuh pada sesuatu yang lebih kuat, lebih dekat dan milik kita sendiri?
Baca lebih lengkap kekuatan yang membentuk masa depan ASEAN, kerentanan yang menahan kita, dan solusi yang bisa mengubah kawasan ini menjadi wilayah yang berdiri atas kemandirian, bukan ketergantungan.
📥 Unduh laporan lengkapnya di bawah ini!