Arghajata

Januari 21, 2025

Menakar Kemajuan Indonesia dalam Mencapai Universal Health Coverage Setelah Satu Dekade Implementasi JKN

Jelajahi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Indonesia, salah satu sistem kesehatan pembayar tunggal terbesar di dunia, saat menandai satu dekade transformasi akses perawatan kesehatan.

Pada tahun 2014, Indonesia secara resmi bergabung dengan deretan negara yang menyediakan asuransi kesehatan nasional bagi warganya. Tonggak sejarah ini menandai puncak dari serangkaian transformasi signifikan dalam sistem kesehatan Indonesia, yang akhirnya melahirkan sistem asuransi kesehatan dengan satu pembayar (single-payer) terbesar di dunia.

Sebelumnya, program asuransi kesehatan di Indonesia cenderung bersifat sektoral, hanya memberikan perlindungan kepada kelompok tertentu seperti pegawai negeri sipil, personel militer, dan pekerja di sektor ekonomi formal. Pengenalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014 memperluas akses asuransi kesehatan, memastikan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam empat tahun sejak implementasinya, program JKN telah mencakup hampir 75% populasi Indonesia, atau sekitar 203 juta orang. Pada tahun 2024, sistem JKN telah memasuki tahun kesepuluh dalam penerapan nya, menjadikan momen ini kesempatan yang tepat untuk secara kritis mengevaluasi pencapaian, kemajuan, serta tantangan yang menghambat pelaksanaan dan efektivitasnya.

Peningkatan Stabil dalam Indikator Kesehatan

Pengenalan program JKN pada tahun 2014 dapat di kontekstualisasi dalam lingkungan kesehatan yang terus mengalami peningkatan dalam hal indikatornya. Seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini, dua tahun sebelum program JKN diluncurkan, angka harapan hidup di Indonesia telah menunjukkan kenaikan yang lambat namun konsisten sejak tahun 1990.

Beberapa intervensi dan kebijakan mulai membuahkan hasil, sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan pada indikator kesehatan utama: dari tahun 1990 hingga 2012, angka harapan hidup saat lahir meningkat dari 63 menjadi 71 tahun, sementara angka kematian bayi menurun dari 62 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian balita menurun dari 85 menjadi 31 per 1.000 kelahiran hidup pada periode yang sama.

Hal ini mencerminkan arah positif dalam meningkatkan hasil kesehatan secara keseluruhan di Indonesia. Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam mengurangi prevalensi penyakit menular, seperti TBC dan influenza.

Namun, tantangan besar masih ada pada beberapa indikator kesehatan lainnya. Meskipun beban penyakit menular telah menurun secara signifikan, prevalensi penyakit tidak menular (non-communicable diseases/NCDs) seperti stroke dan diabetes meningkat tajam. Angka kematian ibu tetap menjadi masalah kritis, dengan tingkat 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

Demikian pula, stunting pada anak-anak terus memengaruhi 31% anak di bawah usia lima tahun, sementara TBC tetap menjadi ancaman yang signifikan, dengan lebih dari satu juta kasus baru setiap tahunnya.

Selain itu, peningkatan prevalensi NCDs menjadi perhatian serius. Angka obesitas telah lebih dari dua kali lipat, naik dari 10% pada tahun 2007 menjadi 21% pada tahun 201G, dan kasus diabetes meningkat sebesar G3% sejak tahun 2005, menyoroti kebutuhan mendesak akan intervensi yang terarah dan kebijakan kesehatan yang komprehensif.

Sebagian besar berkat sistem JKN, studi empiris telah membuktikan bahwa warga, tanpa memandang status sosial ekonomi mereka, dapat mengakses layanan kesehatan dengan kualitas lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum sistem JKN diterapkan. Ketimpangan pra-JKN yang sebelumnya lebih menguntungkan kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi kini sebagian telah berkurang.

Data pemanfaatan rumah sakit dari anggota JKN dibandingkan dengan non-anggota JKN semakin menunjukkan pergeseran ini. Tabel di bawah ini menunjukkan peningkatan angka rawat inap di rumah sakit di antara kelompok kuintil termiskin, yang mencerminkan peningkatan aksesibilitas berkat subsidi pemerintah dan fokus pada wilayah-wilayah yang kurang terlayani.

Data1 also indicates that the JKN program has contributed to improved health outcomes for Indonesian citizens. A study conducted by a team of academics at Cipto Mangunkusumo Hospital, comparing data from before and after the implementation of JKN, revealed a decline in mortality rates from neurological diseases and strokes following the introduction of the program.

Aspek Pembiayaan dalam Universal Health Coverage

Prinsip utama dari UHC adalah meminimalkan pengeluaran langsung (out-of-pocket spending) oleh warga yang membutuhkan perawatan kesehatan. Dalam hal ini, program JKN sejauh ini telah menunjukkan kemajuan, meskipun masih belum sepenuhnya tercapai, seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Meskipun program JKN telah menyediakan akses hampir gratis ke layanan kesehatan, pengeluaran OOP masih menyumbang 27,5% dari total pengeluaran kesehatan nasional (Country’s Total Health Expenditure/CHE) pada tahun 2021.

Meskipun angka ini merupakan perbaikan dari 34,7G% pada tahun 2019, tetap jauh lebih tinggi dibandingkan ambang batas 20% yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO).

Sebagian besar pengeluaran OOP ini dipicu oleh biaya farmasi dan layanan kesehatan. Rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan Rp32.1G8 per bulan untuk kesehatan. Yang menarik, pengeluaran untuk tindakan pencegahan telah meningkat menjadi 29% dari total pengeluaran kesehatan bulanan, menunjukkan kesadaran yang semakin besar terhadap pentingnya pencegahan.

Medical Check-Ups (MCU) menyumbang 34% dari pengeluaran untuk pencegahan, yang merupakan peningkatan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mencerminkan peningkatan pemantauan kesehatan secara proaktif.

Komponen lainnya, seperti kebugaran, pijat, vitamin, dan jamu, juga menunjukkan tren tindakan pencegahan. Tren positif ini diperkirakan akan memberikan manfaat bagi industri kesehatan.

Mengacu kepada standar pendanaan kesehatan secara regional di ASEAN, pengeluaran kesehatan per kapita di Indonesia juga termasuk yang terendah, hanya melampaui negara-negara dengan pendapatan nasional yang jauh lebih rendah, seperti Kamboja, Myanmar, dan Laos.

Kurangnya pendanaan di sektor kesehatan tercermin dari fakta bahwa hanya 3-5% dari GDP Indonesia yang dialokasikan untuk kesehatan publik—persentase yang terus menyusut, terutama akibat pemotongan anggaran terkait pandemi. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan rata-rata regional, yang berada di kisaran 9%.

Untuk mencapai target kesehatan yang ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah memperkirakan dibutuhkan total anggaran sebesar 371,3 triliun IDR untuk layanan kesehatan primer.

Proyeksi biaya ini terus meningkat setiap tahun, dari 62,4 triliun IDR pada tahun 2020 menjadi 85,4 triliun IDR pada tahun 2024. Meskipun demikian, alokasi anggaran kesehatan pemerintah masih tidak seimbang, di mana 78% diarahkan untuk layanan kuratif, sementara hanya 10% yang dialokasikan untuk tindakan preventif.

Arah Masa Depan Program JKN: Meningkatkan Cakupan dan Pembiayaan

Seperti yang telah dibahas di atas, program JKN telah berhasil memperluas cakupan pelayanan kesehatan bagi jutaan warga Indonesia. Namun, ceritanya berbeda secara signifikan ketika diskusi mengenai JKN beralih ke kualitas keseluruhan program itu sendiri. Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia tidak serta-merta berarti memberikan perlindungan kesehatan yang berkualitas.

Pada dasarnya, masalah terbesar dalam program JKN adalah kenyataan bahwa dalam kesinambungan cakupan, hanya anggota masyarakat Indonesia yang paling miskin dan paling kaya yang benar-benar mendapatkan perlindungan kesehatan.

Pada tahun 2024, program BPJS telah mencakup 98,67% populasi, atau lebih dari 277 juta orang. Namun, meskipun bertujuan untuk mencakup seluruh penduduk, pelaksanaan BPJS belum merata dan masih menghadapi berbagai tantangan.

Tantangan utama dalam memperluas cakupan BPJS terletak pada "missing middle", yaitu segmen populasi yang tidak dikategorikan sebagai miskin tetapi juga tidak bekerja di sektor formal. Sebagian besar individu dalam kelompok ini bekerja di sektor informal dan tidak secara otomatis menerima perlindungan kesehatan yang disubsidi pemerintah, sehingga diharapkan mendaftar secara sukarela dan membayar premi sendiri.

Pekerja informal dalam kelompok ini sering memiliki pendapatan yang tidak stabil, sehingga sulit untuk berkomitmen pada kontribusi rutin. Tanpa perlindungan jaminan sosial yang memadai, kelompok ini tetap rentan terhadap guncangan finansial dan tidak memiliki jaring pengaman untuk hari tua atau kejadian tak terduga.

Meskipun upaya telah dilakukan untuk memperluas cakupan, sebagian besar kelompok ini tetap tidak diasuransikan karena rendahnya tingkat pendaftaran mandiri. Program BPJS memang mencatat kemajuan yang signifikan dalam memperluas cakupan asuransi bagi pekerja formal, yang kini menjadi mayoritas peserta program.

Pada tahun 2018, program ini telah mendaftarkan 28 juta peserta aktif dari sektor formal. Namun, situasi sangat berbeda bagi pekerja non-upahan, yang mayoritas adalah pekerja informal.

Meskipun mewakili proporsi besar dari tenaga kerja, hanya 2,4 juta pekerja informal yang aktif berkontribusi pada program ini selama periode yang sama. Artinya, kurang dari seperempat populasi usia kerja produktif, yang diperkirakan lebih dari 150 juta orang, memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang disediakan oleh BPJS.

Sistem jaminan sosial Indonesia, secara inheren, memang lebih mengutamakan pekerja di sektor formal dibandingkan pekerja informal. UU No. 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial menyediakan lima skema utama: asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, tabungan hari tua, dan pensiun.

Meskipun skema ini komprehensif, cakupannya terutama ditujukan untuk pekerja di sektor formal. Pekerja informal, khususnya mereka yang termasuk dalam "missing middle", menghadapi berbagai hambatan untuk berpartisipasi. Hambatan tersebut mencakup persyaratan kontribusi yang kaku, fleksibilitas terbatas dalam program yang tersedia, dan kurangnya sosialisasi ke daerah pedesaan serta komunitas yang kurang terlayani.

Regulasi juga mengharuskan peserta untuk mendaftar ke beberapa skema, seperti asuransi kecelakaan kerja dan asuransi jiwa, sebagai prasyarat untuk mengikuti program tabungan hari tua. Meskipun pendekatan ini memastikan cakupan yang komprehensif bagi pekerja formal, hal ini menciptakan beban finansial bagi pekerja informal dengan sumber daya yang terbatas.

Selain itu, pekerja informal belum memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam program pensiun, sehingga mereka tidak memiliki tabungan pensiun yang penting untuk masa depan. Sebuah studi yang dipimpin oleh Universitas Indonesia dan Australian National University menekankan bahwa rendahnya literasi asuransi merupakan hambatan utama bagi pekerja informal. Kampanye literasi keuangan harus diperluas untuk membantu individu memahami manfaat asuransi kesehatan dan risiko jangka panjang yang timbul jika tetap tidak diasuransikan.

Meskipun tidak termasuk dalam kuartil "missing middle," banyak peserta JKN tetap menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait dengan kualitas layanan yang diberikan melalui program tersebut.

Masalah struktural seperti kesenjangan dalam ketersediaan layanan kesehatan dan infrastruktur menunjukkan bahwa cakupan asuransi saja tidak menjamin aksesibilitas, keandalan, atau kualitas layanan yang tinggi. Tanpa mengatasi masalah mendasar ini, menawarkan opsi asuransi semata mungkin tidak cukup untuk mendorong individu bergabung ke dalam sistem.

Peningkatan cepat jumlah anggota BPJS telah memberikan tekanan besar pada infrastruktur kesehatan Indonesia, terutama di tingkat layanan kesehatan primer. Di dalam negeri, Indonesia menghadapi kekurangan infrastruktur kesehatan, dengan hanya 1,49 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk pada tahun 2021—salah satu angka terendah di kawasan ASEAN.

Selain itu, negara ini juga mengalami kekurangan tenaga medis, dengan rasio dokter terhadap penduduk hanya 0,6:1.000. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (2,2:1.000) dan Thailand (0,95:1.000).

Meskipun 82 persen rumah sakit pemerintah dinyatakan cukup siap pada tahun 2017, hanya 67 persen pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang memenuhi standar kesiapan dasar. Layanan berkualitas rendah, kekurangan obat, dan minimnya tenaga spesialis—terutama di daerah terpencil dan pedesaan—terus menjadi penghambat efektivitas JKN. Kesiapan yang kurang memadai di fasilitas kesehatan primer memperburuk rujukan yang tidak perlu ke rumah sakit tingkat lanjut, yang pada gilirannya meningkatkan biaya dan mengurangi efisiensi sistem.

Tantangan kritis lainnya adalah memperkuat kemitraan dengan fasilitas layanan kesehatan. Meskipun banyak penyedia layanan telah bergabung dengan program ini, beberapa rumah sakit, khususnya yang lebih besar dan lebih canggih, menolak bergabung karena merasa tarif layanan yang ditawarkan tidak memadai. Sebaliknya, rumah sakit yang lebih kecil sering kali kekurangan sumber daya atau infrastruktur untuk memenuhi standar kemitraan BPJS.

Disparitas struktural secara sosial ekonomi di Indonesia masih sangat nyata. Pasien dari kalangan mampu memiliki kemampuan untuk mendapatkan perawatan medis di luar negeri. Pada tahun 2022, tercatat sekitar 1 juta warga Indonesia melakukan perjalanan ke luar negeri untuk memperoleh layanan kesehatan, terutama ke Malaysia, Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat, dengan total biaya yang diperkirakan mencapai Rp 165 triliun (USD 9,7 miliar). Namun, hal ini tidak berlaku bagi masyarakat dari kelompok menengah ke bawah, yang menghadapi keterbatasan finansial dan akses untuk memperoleh layanan kesehatan di Indonesia sendiri.

Dalam hal layanan kesehatan primer dan sekunder, disparitas aksesibilitas semakin menyoroti ketimpangan sistemik. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun pemanfaatan layanan kesehatan primer relatif merata di berbagai tingkat pendidikan, layanan pencegahan yang membutuhkan tingkat kecanggihan lebih tinggi—seperti tes kolesterol, glukosa darah, dan ECG—cenderung lebih banyak diakses oleh individu dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi.

Tren ini menunjukkan adanya hambatan finansial dan kurangnya informasi yang menghalangi kelompok berpendapatan rendah dan berpendidikan rendah untuk memanfaatkan layanan kesehatan preventif secara optimal.

Stratifikasi sosial ekonomi ini menjadi semakin jelas dalam layanan kesehatan sekunder dan rawat inap. Individu dari kelompok dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi lebih mungkin untuk mengakses layanan ini. Sebaliknya, mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah menghadapi berbagai kendala signifikan, termasuk keterbatasan finansial, kesenjangan informasi, serta persepsi bahwa kualitas atau relevansi layanan kesehatan yang tersedia tidak memadai.

Selain masalah disparitas struktural, sistem kesehatan Indonesia juga mengalami keterbelakangan dari segi pendataan dan sistem informasi. Sistem informasi kesehatan yang terfragmentasi (SIKNAS dan SIKDA) serta pendaftaran vital yang belum lengkap menghambat proses pemantauan, evaluasi, dan alokasi sumber daya yang efektif.

Kurangnya pelaporan dari sektor swasta, integrasi data yang tidak konsisten, serta digitalisasi yang terbatas semakin menghalangi pengambilan keputusan yang tepat waktu. Inisiatif seperti Indonesia Mortality Registration System Strengthening Project dan Early Warning Alert and Response System memang menunjukkan kemajuan secara bertahap, namun sistem informasi kesehatan yang terintegrasi sepenuhnya dan kokoh masih belum dapat diwujudkan.

Untuk mengatasi kesenjangan yang semakin berkembang dalam sistem kesehatan Indonesia, pemerintah harus menangani aspek keuangan dan tata kelola secara bersamaan. Penguatan tata kelola merupakan pilar utama yang, apabila dikombinasikan dengan pembiayaan yang lebih baik, dapat secara fundamental mengubah infrastruktur kesehatan Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem kesehatan melalui UU Kesehatan 2023, dengan tujuan untuk mendorong layanan kesehatan yang lebih adil, inklusif, dan berkualitas tinggi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 401, pemerintah menekankan pentingnya diversifikasi sumber pendanaan di sektor kesehatan.

Dalam konteks ini, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara sektor publik, institusi swasta, dan organisasi masyarakat untuk memastikan bahwa sumber daya yang tersedia digunakan secara efektif dan efisien demi tercapainya tujuan utama, yaitu kesetaraan dalam pelayanan kesehatan.

Selain itu, untuk meningkatkan efisiensi pembiayaan kesehatan, pemerintah telah menghapus kerangka pengeluaran wajib yang sebelumnya diberlakukan, sehingga memberikan otonomi yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan dan memungkinkan implementasi penganggaran berbasis kinerja.

Reformasi ini bertujuan untuk mengatasi tantangan kesehatan melalui pendekatan yang didasarkan pada beban penyakit dan kajian epidemiologis, sambil memungkinkan alokasi anggaran yang responsif terhadap kebutuhan aktual tanpa terikat oleh batasan keuangan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Untuk mengoptimalkan alokasi dan pemanfaatan dana kesehatan, pemerintah mendorong pengembangan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK), sebagaimana diatur dalam Pasal 409. Alat strategis ini dirancang untuk memastikan keselarasan prioritas pembangunan kesehatan melalui integrasi sumber daya dari pemangku kepentingan pemerintah dan non-pemerintah, termasuk sektor swasta dan masyarakat.

Hal ini diharapkan dapat memfasilitasi distribusi layanan kesehatan yang lebih merata. Mengingat keterbatasan pendanaan di sektor kesehatan, kerangka kerja RIBK menjadi kunci dalam mendorong reformasi tata kelola, meningkatkan transparansi, dan memastikan pemanfaatan sumber daya kesehatan yang bijaksana.

Rekomendasi untuk Arah Kebijakan di Masa Depan

The Indonesian government should consider shifting its healthcare focus from an overemphasis on curative services to strengthening preventive healthcare measures. In 2017, former Minister of Health Nila Moeloek warned that the rapid pace of urbanization, coupled with disparities in healthcare quality between regions, poses a significant risk of overwhelming Indonesia’s healthcare system2.

Hal ini diperburuk oleh kombinasi antara meningkatnya penyakit tidak menular, penyakit menular, dan penyakit musiman yang terus membebani sistem kesehatan. Selain itu, pola hidup yang tidak sehat serta degradasi lingkungan di Indonesia turut memperparah situasi.

Nila Moeloek juga menyoroti bahwa sebagian besar pengeluaran kesehatan nasional dalam JKN dihabiskan untuk menangani penyakit tidak menular jangka panjang. Oleh karena itu, beliau mendorong pemerintah untuk memprioritaskan langkah-langkah kesehatan preventif, karena mencegah penyakit jauh lebih murah dibandingkan mengobati.

Dalam bentuknya yang sekarang, sistem JKN dinilai tidak akan mampu secara realistis menangani kebutuhan pengobatan bagi masyarakat Indonesia yang menderita penyakit tidak menular, mengingat tingginya biaya medis yang diperlukan untuk menangani penyakit-penyakit tersebut. Ini terbukti dengan laporan tahunan BPJS yang menyoroti semakin dominannya penyakit tidak menular dalam pembiayaan kesehatan. Secara khusus, penyakit jantung, kanker, dan stroke menyumbang Rp 19,8 triliun (~€1,1 miliar), atau sekitar 90% dari total klaim kesehatan.

Dengan demikian, penting bagi sistem JKN untuk tidak hanya merancang ulang struktur tata kelola dan pembiayaannya, tetapi juga mengintegrasikan fokus yang lebih besar pada apa yang disebut oleh para peneliti kebijakan kesehatan sebagai ‘universal risk coverage’.

This approach emphasizes early detection of risk factors that can lead to NCDs3. At the most basic level, government interventions could include implementing taxes on high-sugar products or increasing tobacco taxes to encourage healthier lifestyle choices among the population.

Oleh karena itu, arah masa depan sistem kesehatan Indonesia terletak pada upaya untuk menyeimbangkan layanan kuratif dengan strategi preventif dan promotif. Pendekatan ini tidak hanya akan mengurangi beban biaya kesehatan secara keseluruhan, tetapi juga memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara lebih berkelanjutan.

  1. Rina Agustina et al., “Universal Health Coverage in Indonesia: Concept, Progress, and Challenges,” The Lancet 393, no. 10166 (December 19, 2018): 75–102, https://doi.org/10.1016/s0140-6736(18)31647-7. ↩︎
  2. Moeloek, Nila F. 2017. “Indonesia National Health Policy in the Transition of Disease Burden and Health Insurance Coverage” Medical Journal of Indonesia 26 (1):3-6. https://doi.org/10.13181/mji.v26i1.1975. ↩︎
  3. Agustina et al., “Universal Health Coverage in Indonesia: Concept, Progress, and Challenges.” ↩︎

Share this article.

Share this article.

Artikel terkait.

Dapatkan Insights Mingguan

Subscribe untuk Konten Eksklusif

Insight

id_IDIndonesian
Risk management
Proses Bisnis
Panduan Memahami Pentingnya Manajemen Risiko Pada Perusahaan
Ilustrasi Operasi Bisnis
Proses Bisnis, Uncategorized
7 Tips Menghindari Kerugian Operasional dalam Bisnis  
Data-driven decision making (DDDM)
Uncategorized
Data-Driven Decision Making (DDDM) untuk Pengambilan Keputusan yang Valid
Dapatkan Insights Mingguan