Artikel ini merupakan opini langsung dari Rezki Sri Wibowo, Managing Director kami dan sebelumnya pernah dipublikasikan di Detik.com. Kami menerbitkannya kembali di situs web Arghajata untuk memperluas jangkauan pembaca kami. Artikel ini telah ditelaah secara saksama untuk memberikan informasi yang akurat dan andal, serta menjamin standar kualitas, kredibilitas, dan kepercayaan yang tinggi.
Majelis Umum PBB baru saja mengadopsi Deklarasi New York yang mendorong solusi dua negara, dengan harapan dapat mengakhiri konflik Israel dan Palestina. Adopsi luas deklarasi ini bukan hanya kemenangan diplomasi bagi Palestina.
Dokumen ini tidak sekadar pernyataan politik, melainkan juga menawarkan sebuah roadmap yang bertujuan menanamkan legitimasi internasional di kawasan yang lama dilanda konflik.
Bagi Indonesia, langkah ini membawa arti yang jauh melampaui solidaritas moral terhadap Palestina. Arsitektur kawasan Timur Tengah yang lebih sah dan memiliki kepastian dapat menekan gejolak yang selama ini mempengaruhi harga energi, jalur pelayaran strategis, serta arus perdagangan global. Gangguan di faktor-faktor tersebut langsung berdampak pada ketahanan ekonomi Indonesia.
Tanpa tatanan sah yang diterima bersama, konflik akan terus menjadi sumber ketidakstabilan geopolitik Timur Tengah. Sejarah membuktikan bahwa konflik kawasan ini kerap menekan pasar energi dan jalur perdagangan dunia. Pada 1973 misalnya, OAPEC memberlakukan embargo minyak terhadap negara-negara pendukung Israel dalam Perang Yom Kippur.
Embargo tersebut menggandakan harga minyak, memicu inflasi, hingga menjerumuskan dunia pada resesi. Pola ini kembali muncul dalam krisis terbaru di Laut Merah yang memangkas hampir separuh volume perdagangan melewati Terusan Suez pada awal 2024.
Perusahaan pelayaran internasional memilih jalur lebih panjang dengan memutar lewat Afrika Selatan, karena dianggap lebih aman walau berbiaya dan berwaktu tempuh lebih besar.
PBB menilai opsi ini menaikkan tarif angkut, premi asuransi, sekaligus menurunkan konektivitas global.
Bagi Indonesia yang bergantung pada impor energi sekaligus jalur laut internasional, setiap gejolak harga minyak dan biaya logistik berarti subsidi energi domestik membengkak, inflasi meningkat, dan fiskal negara tertekan. Tanpa legitimasi kawasan Timur Tengah, siklus volatilitas ini akan terus berulang.
Deklarasi New York memberikan dua elemen kunci stabilitas kawasan yang dapat menekan gejolak:
Pertama, adanya misi stabilisasi PBB untuk mendampingi transisi kekuasaan dari Hamas ke Otoritas Palestina, dengan syarat pelucutan senjata Hamas dan pelepasan kendali atas Gaza. Legitimasi internasional tercermin dari voting PBB dengan 142 suara mendukung.
Untuk pertama kalinya, Liga Arab juga mengecam serangan Hamas 7 Oktober 2023 dan mendesak kelompok tersebut dilucuti.
Kombinasi antara keamanan dan konsensus internasional memberi fondasi baru bagi kawasan yang lebih stabil.
Bagi Indonesia, makna deklarasi ini langsung terasa. Legitimasi tatanan Timur Tengah bukan sekadar diplomasi, tetapi juga benteng pertama terhadap guncangan eksternal yang membebani ekonomi nasional.
Ketergantungan Indonesia pada impor minyak mentah, LPG, dan BBM membuat APBN sangat rentan. Pada 2022, lonjakan harga minyak dunia membuat subsidi energi melonjak hingga lebih dari Rp500 triliun, hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Gangguan jalur pelayaran juga terasa nyata. Lebih dari 40% ekspor Indonesia ke Eropa melewati Terusan Suez, sehingga setiap krisis di Laut Merah menambah ongkos logistik dan memperlambat arus perdagangan. Rupiah pun mudah tertekan karena setiap guncangan energi dan perdagangan mempersempit ruang moneter serta cadangan devisa.
Dukungan Indonesia terhadap Deklarasi New York lahir bukan hanya dari solidaritas moral, tetapi juga perhitungan strategis. Tatanan yang lebih sah di Timur Tengah adalah syarat utama bagi ketahanan ekonomi nasional. Stabilitas kawasan bukan hanya menekan potensi gejolak, tapi juga membuka peluang ekonomi baru dengan negara-negara Timur Tengah.
Stabilitas regional mendorong keyakinan investor, terutama dari negara-negara Teluk, untuk berinvestasi jangka panjang di infrastruktur dan energi Indonesia.
Pasar Timur Tengah juga menyediakan permintaan besar bagi produk halal, komoditas pertanian, dan energi terbarukan dari Indonesia. Jalur pelayaran yang aman memastikan peluang itu bisa terealisasi tanpa biaya logistik membengkak.
Dengan fondasi legitimasi regional, kawasan ini bisa bertransformasi dari sumber gejolak menjadi mitra pembangunan Indonesia.
Dalam pidatonya di KTT Solusi Dua Negara PBB (22 September 2025), Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina dan solusi dua negara. Menurut Presiden, Deklarasi New York adalah jalan terbaik menuju perdamaian dan keadilan.
Deklarasi ini bukan sekadar dokumen diplomatik, melainkan instrumen legitimasi di kawasan yang puluhan tahun dikuasai konflik. Dengan kerangka yang diterima luas, Deklarasi New York bisa meredam siklus gejolak yang mengganggu pasar energi dan perdagangan global.
Bagi Indonesia, dukungan pada deklarasi ini adalah strategi untuk menjaga kestabilan harga energi, kelancaran perdagangan, serta ketahanan fiskal.
Perdamaian untuk Palestina bukan hanya memberi harapan baru bagi rakyatnya, tetapi juga memperkuat tatanan internasional yang memungkinkan Indonesia tumbuh dengan keyakinan.