Arghajata

Menghidupkan Diplomasi Lewat Perdagangan di Tengah Dinamika Global

September 25, 2025

Menghidupkan Diplomasi Lewat Perdagangan di Tengah Dinamika Global

Perdagangan internasional bagi sebuah negara termasuk Indonesia, sejatinya bukan sekadar pencapaian angka statistik, tetapi merupakan bagian dari diplomasi.

International trade

Artikel ini merupakan opini langsung dari Rezki Sri Wibowo, Managing Director kami dan telah ditelaah secara saksama untuk memberikan informasi yang akurat dan andal, serta menjamin standar kualitas, kredibilitas, dan kepercayaan yang tinggi.

Jika melihat perdagangan sebatas indikator statistik, rajin-rajin melihat data Badan Pusat Statistik atau BPS. Bulan ini surplus, bulan berikutnya bisa defisit. Begitu seterusnya. Perubahan harga akibat dinamika di dunia global, terlepas karena urusan politik maupun ekonomi, sangat berpengaruh angka-angka tersebut.

Tentu ada juga nilai penting dari angka statistik perdagangan. Setidaknya mampu memberikan sinyal perkembangan situasi ekonomi, sehingga tingkat kewaspadaan tetap terjaga. Misalnya, kinerja pertumbuhan sektor perdagangan yang cenderung rendah. Pada 2023 misalnya, ada di kisaran 4,85 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,05 persen.

Padahal, sektor perdagangan ini tidak bisa dianggap receh. Kontribusinya terhadap perekonomian nasional mencapai 12,94 persen, tertinggi kedua setelah sektor pengolahan. Lapangan usaha perdagangan ini mampu mempekerjakan sekitar 19 juta tenaga kerja.

Kinerja perdagangan, transaksi barang dan jasa di dalam negeri, cenderung stabil tapi dengan tumbuh rendah. Lalu, mungkinkah menggenjot ekspor? Tentu saja bisa. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Kekayaan dari pertambangan, perkebunan, bahkan rempah-rempah, sangat menjanjikan untuk memberikan nilai tambah melalui hilirisasi. Ini soal inovasi, dan tentu saja kemauan atau political will

Selain itu, 90 persen perdagangan barang internasional menggunakan transportasi laut, yang menurut Kementerian Perhubungan, 40 persen rutenya melewati perairan Indonesia. Empat titik strategis Indonesia yang dilalui perdagangan internasional, yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar. Tentu ini dukungan besar bagi Indonesia dari sisi logistik, sekaligus jika punya cita-cita menjadi pusat industri perdagangan dunia.

Jangan lupakan sejarah. Indonesia pernah terjajah lebih dari 350 tahun gara-gara urusan perdagangan. Daerah Barus di Sumatera Utara adalah bukti perdagangan bumi Indonesia dengan peradaban Timur Tengah berabad silam.  Tingginya harga rempah menjadi muasal ditukarnya Pulau Manhattan, yang menjadi distrik termahal dunia kini dengan Pulau Run di Banda antara Belanda dan Inggris . Kolonialisme hadir dipicu oleh hasrat perdagangan.

Karena itu, perdagangan internasional tak hanya membuat dunia lebih baik. Tapi bisa juga menjadi isu politik yang paling kontroversial seperti kolonialisme, maupun ketegangan antar-kepentingan di dalam negeri.

Perlu reposisi diplomasi dan strategi

Dari sisi ekonomi, Indonesia berpotensi mendapatkan dua keuntungan sekaligus: keunggulan absolut maupun komparatif. Banyak barang yang bisa diproduksi di Indonesia lantaran bahan bakunya melimpah, sehingga negara lain tidak mampu memproduksinya. Dalam keunggulan absolut ini, ambil contoh produk dengan bahan baku hasil perkebunan seperti minyak sawit mentah. 

Pada keunggulan komparatif juga ada peluang menjadi keunggulan jika memang serius digarap. Rantai pasok antara bahan baku dengan pengolahan serta distribusi, bisa lebih efisien dibandingkan negara lain. Ongkos produksi jadi lebih murah. Lagi-lagi ini soal strategi dan kemauan.

Kekuatan Indonesia dalam peta perdagangan ini, semestinya bukan sekadar alat selebrasi setelah mengutak-atik hitungan statistik: surplus dan defisit. Kekuatan tersebut merupakan modal penting untuk mendukung diplomasi atau sebaliknya.

Brand McDonald, salah satu pejabat di Dana Moneter Internasional atau IMF, dalam tulisannya di situs lembaga donor tersebut secara implisit mengingatkan, pada hakikatnya setiap negara berupaya memproteksi wilayahnya dengan memberikan hambatan pada negara lain. Di bidang jasa perdagangan, antara lain terkait dengan lalu lintas kapal angkut, kemudian di sektor keuangan, maupun tarif barang dan jasa.

Memang rada sulit memisahkan urusan perdagangan dengan politik. Indonesia, belum lama ini, sempat kena getahnya. Komoditas CPO, ekspor andalan Indonesia, menjadi sengketa internasional lantaran dilarang mendarat di Uni Eropa dengan alasan jadi penyebab deforestasi.

McDonald mensinyalir, tentu bukan dalam konteks mengomentari soal kebijakan Uni Eropa yang “menjegal” perdagangan CPO Indonesia, tetapi sekali lagi mengingatkan: kebijakan perdagangan yang restriktif masih kerap terjadi di banyak negara. Sekali lagi, perdagangan membutuhkan diplomasi antar-negara yang kuat, dan pada saat bersamaan, perdagangan bisa menjadi modal sakti dalam diplomasi.

Karena itu, strategi perdagangan dan geopolitik penting bagi pemerintah Indonesia untuk mempertahankan upaya dalam membangun pengaruh yang kuat di panggung global. Tentu saja, pada akhirnya demi menciptakan kesejahteraan sosial di dalam negeri.

Suka atau tidak, perang geopolitik saat ini pada umumnya berorientasi pada perdagangan internasional. Ujung-ujungnya urusan ekonomi. Dari soal upaya mengamankan perdagangan dan pasar ekspor, maupun untuk merawat pasokan bahan baku strategis demi menunjang industri nasional.

Gonjang-ganjing geopolitik ini juga menimbulkan fenomena baru, yakni kecenderungan deglobalisasi. Upaya menyelamatkan negara sendiri melalui beragam hambatan atau restriksi. Bagi Indonesia, dengan beragam kesepakatan kerja sama perdagangan yang telah dijalin, mengisyaratkan terbukanya peluang membangun ekosistem perdagangan dengan banyak negara.

Peluang itu, dari soal kerja sama dalam memanfaatkan sumber daya hingga menjadikan Indonesia aset penting masyarakat global dalam menyediakan bahan baku. Tidak ada negara yang mampu berdiri sendiri dalam mempertahankan maupun meningkatkan kesejahteraan bangsanya, termasuk Indonesia. 

Namun, strategi dan diplomasi menjadi kunci keberhasilan perdagangan untuk turut mendorong Indonesia sebagai negara maju serta disegani. Begitu pun dengan upaya melaksanakan ketertiban dunia, seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Yakinlah, karena tradisi perdagangan sudah menjadi warisan leluhur Indonesia.

Share this article.

Share this article.

Related Articles

Opinion

CEPA Uni Eropa dan Indonesia: Perdagangan Sebagai Strategi Geopolitik 

CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa bukan sekadar perjanjian dagang. Bagi Uni Eropa, ini adalah langkah menuju otonomi strategis dan diversifikasi rantai pasok. Sedangkan, bagi Indonesia, ini adalah wujud nyata economic statecraft untuk memperluas ruang diplomasi dan menegaskan posisi sebagai middle power di tatanan global.

Opinion

Dampak Ekonomi dari Kerusuhan bila Tidak Segera Ditangani

Kerusuhan 28–30 Agustus 2025 memicu guncangan besar pada ekonomi Indonesia. Dari jatuhnya kepercayaan konsumen, depresiasi Rupiah, inflasi impor, hingga risiko resesi.

Opinion

Diplomasi Presiden Prabowo di Beijing dan Krisis Domestik 

Kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing di tengah kerusuhan domestik memunculkan perdebatan. Apakah langkah ini menunjukkan ketidakpekaan, atau justru strategi diplomasi untuk menjaga posisi Indonesia di panggung global?

Related Articles

Get in Touch

Get Weekly Insight

Subscribe for Exclusive Content

Read Our Latest Insight

shutterstock-314960816
Economy
Memahami Gaya Kepemimpinan: Mana yang Tepat untuk Anda?
Problem Solving
Business Process
Panduan Membuat Strategi Bisnis dengan Business Model Canvas
standard-quality-control-concept-m (1)
Supply Chain
Pentingnya Supply Chain Management untuk Mengoptimalkan Aliran Barang dan Informasi
Get Weekly Insight