Artikel ini merupakan opini langsung dari Aaron Aristoteles Hanafi, Konsultan kami dan sebelumnya pernah dipublikasikan di Detik.com. Kami menerbitkannya kembali di situs web Arghajata untuk memperluas jangkauan pembaca kami. Artikel ini telah ditelaah secara saksama untuk memberikan informasi yang akurat dan andal, serta menjamin standar kualitas, kredibilitas, dan kepercayaan yang tinggi.
Menjelang akhir Agustus 2025, Indonesia diguncang kerusuhan terbesar sejak 1998. Gelombang demonstrasi itu kembali menguji legitimasi demokrasi. Dalam suasana genting tersebut, Presiden Prabowo Subianto tetap memilih hadir pada peringatan Victory Day di Beijing, 3 September. Langkah ini memunculkan pertanyaan besar: apakah keputusannya menunjukkan ketidakpekaan terhadap krisis domestik, atau justru perhitungan dingin untuk menegaskan posisi Indonesia sekaligus menyampaikan sinyal politik ke dalam maupun luar negeri?
Untuk menilai keputusan ini, analisis tidak cukup berhenti pada tampilan politik semata. Penting menembus ranah doktrin luar negeri, sumber legitimasi, hingga fondasi historis strategi Indonesia. Seorang pemimpin bukan hanya penanggap krisis, tetapi juga penafsir peristiwa yang mampu memberi makna pada momentum, meski konsekuensinya tidak selalu populer. Dalam kerangka ini, kehadiran Prabowo di Beijing bisa dibaca sebagai kalkulasi strategis yang menempatkan kepentingan jangka panjang di atas sensitivitas politik sesaat.
Diplomasi tak pernah berjalan dalam ruang hampa. Setiap kunjungan kenegaraan selalu menyasar dua panggung: internasional dan domestik. Dengan perspektif ini, kunjungan Prabowo ke Beijing hanya beberapa hari setelah kerusuhan besar bukan sekadar memenuhi undangan negara sahabat, melainkan manuver yang diarahkan pada legitimasi ganda. Di hadapan publik domestik, kehadirannya menandai bahwa roda pemerintahan masih berjalan. Bagi komunitas internasional, Indonesia menunjukkan resiliensi strategis: tetap relevan sebagai kekuatan kawasan, menjaga dialog dengan kekuatan besar, dan berupaya tidak terseret arus politik internal. Pola semacam ini selaras dengan teori two-level games Robert Putnam, yang menekankan fungsi ganda kebijakan luar negeri untuk juga memperkuat legitimasi politik di dalam negeri.
Namun pesan itu hanya bermakna bila ditopang kredibilitas yang konsisten. Dalam tatanan global yang semakin rapuh, partisipasi di forum internasional hanya berarti jika selaras dengan arah kebijakan yang jelas. Tanpa pondasi doktrinal, diplomasi Prabowo mudah terbaca sebagai manuver reaktif, bukan strategi jangka panjang. Pertanyaan utama bukan lagi apakah kunjungan itu tepat, melainkan apakah Beijing merupakan bagian dari strategi yang lebih besar yang bisa dijelaskan kepada audiens domestik dan global.
Koherensi kebijakan luar negeri Indonesia berpijak pada doktrin “bebas dan aktif” yang digagas Mohamad Hatta. Pada 1948, Hatta menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh menjadi objek perebutan pengaruh, melainkan subjek yang menentukan sikapnya sendiri. Prinsip ini relevan pada masa Perang Dingin ketika dunia terbelah dua blok. Kini, konstelasi global berbeda: rivalitas terbuka antar kekuatan besar berjalan di tengah keterhubungan rantai pasok, teknologi, dan institusi finansial. Dalam lanskap ini, posisi “bebas” berisiko dianggap ambigu, sementara sikap “aktif” rawan direduksi hanya jadi partisipasi simbolik.
Kondisi tersebut menuntut pembaruan konseptual. Konsep dynamic equilibrium yang sering dipakai terdengar adaptif, namun dalam praktiknya cenderung deskriptif. Alternatif yang lebih relevan adalah kerangka tactical equilibrium atau keseimbangan taktis: sebuah pendekatan bagi negara middle power untuk menjaga otonomi strategis melalui fleksibilitas manuver, tetap terlibat dengan kekuatan besar, sekaligus meningkatkan daya tawar dalam situasi asimetris.
Keseimbangan taktis ini menuntut kalkulasi ulang secara berkelanjutan atas konstelasi kepentingan global: dari aliansi, isu prioritas, hingga forum mana yang strategis untuk diikuti. Dengan kerangka ini, kehadiran Prabowo di Beijing bisa dipahami bukan sebagai pengalihan isu domestik, tetapi sebagai strategi menjaga ruang diplomasi, memperluas opsi negosiasi, dan menunjukkan bahwa krisis internal tidak otomatis melemahkan kapasitas Indonesia di panggung global.
Meski begitu, strategi ini menuntut konsistensi narasi dan disiplin institusional. Tanpa kerangka jangka panjang, fleksibilitas bisa tergelincir menjadi oportunisme. Sebaliknya, keseimbangan taktis dapat menjadi instrumen untuk mempertahankan otonomi strategis, memperluas ruang negosiasi, dan membantu Indonesia membentuk kontur tatanan kawasan. Dalam kerangka ini, kehadiran Prabowo di Beijing di tengah krisis domestik hanya bermakna jika dibaca sebagai bagian dari narasi historis yang lebih besar: Indonesia sebagai aktor aktif sekaligus penyeimbang dalam rivalitas kekuatan besar. Tanpa dimensi ini, simbolisme duduk sejajar dengan Xi Jinping dan Vladimir Putin mudah dipersepsikan hanya sebagai tata protokoler.
Optik stabilitas yang ditampilkan di Beijing tidak bisa dilepaskan dari kondisi domestik pasca demo. Kredibilitas diplomasi internasional hanya akan bertahan bila didukung legitimasi dan kepercayaan di dalam negeri. Tanpa sinkronisasi tersebut, diplomasi rawan dianggap sekadar pertunjukan, bukan strategi.
Kunjungan Prabowo juga mencerminkan paradoks diplomasi: bagaimana sebuah negara menjaga kesinambungan arah luar negeri ketika fondasi domestiknya terguncang? Langkah ini memang berpotensi dipersepsikan dingin terhadap penderitaan rakyat, tetapi juga bisa dimaknai sebagai kalkulasi bahwa legitimasi jangka panjang hanya dapat dibangun bila negara tetap aktif di panggung internasional.
Pilihan bagi Indonesia bukan sekadar hadir atau absen di forum global, melainkan memastikan bahwa setiap langkah diplomasi terintegrasi dalam strategi jangka panjang. Dunia saat ini bukan lagi “dua karang”, melainkan lautan arus yang saling bertabrakan. Tantangan Indonesia adalah mendayung dalam badai untuk menentukan arah masa depan.
Ujian berikutnya akan datang ketika Prabowo dijadwalkan berpidato di Majelis Umum PBB. Forum ini berbeda dari Beijing, audiens lebih luas, sorotan lebih tajam, dan kompetisi narasi jauh lebih ketat. Dunia akan menilai apakah stabilitas yang ditunjukkan di Tiongkok benar-benar mencerminkan konsolidasi dalam negeri, atau sekadar proyeksi simbolik.