Arghajata

Dampak Ekonomi dari Kerusuhan bila Tidak Segera Ditangani

Oktober 2, 2025

Dampak Ekonomi dari Kerusuhan bila Tidak Segera Ditangani

Kerusuhan 28–30 Agustus 2025 memicu guncangan besar pada ekonomi Indonesia. Dari jatuhnya kepercayaan konsumen, depresiasi Rupiah, inflasi impor, hingga risiko resesi.

mass demonstration

Artikel ini merupakan opini langsung dari Ivan Wahyu Hidayatullah, Konsultan kami dan telah ditelaah secara saksama untuk memberikan informasi yang akurat dan andal, serta menjamin standar kualitas, kredibilitas, dan kepercayaan yang tinggi.

Aksi masa pada 28–30 Agustus 2025 bermula atas lanjutan aksi 25 Agustus terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR, meluas menjadi kemarahan atas kondisi ekonomi, penerapan pajak dan tindakan represif kepolisian.

Tewasnya driver ojek online, Affan Kurniawan, menjadi pemicu gelombang solidaritas, mempercepat penyebaran aksi ke kota‑kota lain, sebagai bentuk rasa frustrasi masyarakat.

Aksi berubah menjadi kerusuhan berskala nasional dengan bentrokan antara masa dan kepolisian, memunculkan korban jiwa serta kerusakan pada aset-aset pemerintah dan properti pribadi anggota DPR.

Kerusakan diperkirakan menelan kerugian sekitar Rp155 triliun di Jakarta, Rp205 miliar di Makassar, serta puluhan miliar di kota‑kota lain. Atas kerusakan tersebut akan menimbulkan pengeluaran pemerintah untuk melakukan perbaikan, pengadaan dan renovasi atas kerusakan.

Penurunan Kepercayaan Konsumen dan Shock pada Pasar Keuangan

senayan city
Senayan City sebagai salah satu mall yang terimbas dalam mass demonstration Aug, 25, 2025/forevervacation.com

Kerusuhan juga menimbulkan penurunan dalam kepercayaan konsumen serta gelombang penutupan sementara bagi banyak pelaku usaha. Sejumlah mal besar harus tutup pada hari Sabtu akibat kerusuhan. Kepercayaan merupakan salah satu pendorong utama permintaan, bila kerusuhan terus berkepanjangan, ditakutkan konsumen merasa tidak aman dan cenderung menahan pengeluaran untuk konsumsi. Bukan hanya pada konsumsi, kerusuhan juga dapat memicu shock pada pasar keuangan.

Pada 29 Agustus, nilai Rupiah melemah 0,9% terhadap Dolar, sementara IHSG anjlok 1,53% ke level 7.830. Ketidakpastian politik atas kerusuhan yang berkepanjangan dapat meningkatkan premi risiko yang diminta investor, mereka cenderung menukar aset-aset berisiko ke aset yang lebih aman, memicu adanya capital flight dan penurunan likuiditas.

Akibatnya, investasi asing langsung dan portofolio mengalami withdrawal besar-besaran, menurunkan aliran modal masuk, memperlemah cadangan devisa dan depresiasi Rupiah yang dapat meningkatkan beban utang
berdenominasi Dolar.

Sentimen negatif ini dapat terus berlanjut, karena bias persepsi bahwa ketidakpastian politik akan berulang, sehingga volatilitas pasar dan biaya pembiayaan tetap tinggi dalam jangka pendek.

Dampak Depresiasi Rupiah

rupiah
Ilustrasi Rupiah/Freepik

Karena Rupiah melemah, biaya produksi bagi yang mengandalkan bahan baku impor akan naik, sehingga margin keuntungan tertekan dan produsen akan memilih untuk menunda atau mengurangi volume ekspor.

Pada saat yang bersamaan, nilai barang‑barang ekspor cenderung menjadi kurang kompetitif di pasar global, sehingga permintaan akan menurun.

Akibatnya, menurunnya neraca perdagangan, semakin memperburuk kepercayaan investor dan menambah tekanan pada Rupiah, depresiasi berkelanjutan menimbulkan adanya feedback loop lemahnya Rupiah, penurunan net export dan inflasi.

Dampak peningkatan harga impor membuat perusahaan harus membayar lebih banyak Dolar untuk memperoleh bahan baku dan barang konsumsi yang menimbulkan kenaikan inflasi impor, yang selanjutnya menjalar ke inflasi umum melalui efek cost‑push.

Konsumen akan menghadapi harga yang lebih tinggi, daya beli menurun. Kondisi ini dapat memicu spiral inflasi bila BI tidak segera menyesuaikan kebijakan moneter untuk menahan arus modal keluar.

Dalam kondisi cost‑push inflation dengan rate konsumsi yang lesu, pelaku usaha bisa saja menutup sementara atau memangkas tenaga kerja untuk tetap menjaga marjin keuntungan.

Akibatnya, tingkat pengangguran dapat meningkat, terutama di kalangan pekerja informal.

Baca Juga: President Prabowo’s Diplomacy in Beijing and the Domestic Crisis

Risiko Resesi

Pasar
Ilustrasi Pasar Sepi/Freepik

Penurunan permintaan dapat terjadi karena konsumsi tertekan oleh inflasi dan penurunan daya beli, sementara investasi menurun akibat kenaikan biaya produksi dan ketidakpastian politik.

Di sisi penawaran, inflasi akan menggeser kurva penawaran agregat ke kiri, menurunkan output. Hal ini dapat menurunkan pertumbuhan PDB riil pada kuartal berikutnya, bahkan tanpa kerusuhan, OECD memperkirakan penurunan pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 0,4%‑0,6%.

Selain itu, defisit neraca perdagangan dan penurunan lapangan kerja dapat memperburuk kondisi ekonomi jika tidak diimbangi dengan kebijakan fiskal stimulus yang menargetkan sektor‑sektor produktif. Tanpa adanya perbaikan, PDB diperkirakan akan mengalami penurunan.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

dpr
Suasana Rapat Sidang Paripurna DPR RI, di Jakarta/menpan.go.id

Seiring penurunan PDB, Indonesia berisiko masuk ke dalam kondisi resesi. Sebagai contoh dapat kita lihat pada PDB Ukraina yang turun 29% akibat konflik Rusia-Ukraina.

Jika kondisi serupa terulang di Indonesia, tekanan pada permintaan dapat memicu kontraksi pada output, menurunkan pertumbuhan ekonomi selama satu atau dua kuartal dan menimbulkan adanya potensi resesi.

Untuk mencegah skenario terburuk, selain tuntutan masa, pemerintah juga perlu mengambil langkah:

  • Stabilisasi nilai tukar melalui intervensi pasar dan penambahan cadangan devisa, sekaligus menjaga kebijakan moneter yang responsif untuk mengendalikan arus modal.
  • Stimulus fiskal pada sektor‑sektor yang paling terdampak
  • Pemulihan kepercayaan investor dengan mempercepat reformasi birokrasi, memperkuat penegakan hukum serta meningkatkan transparansi.

Pemerintah tidak hanya dapat menahan krisis ekonomi, tetapi juga menyiapkan pondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi risiko krisis di masa depan.

Share this article.

Share this article.

Related Articles

Opinion

CEPA Uni Eropa dan Indonesia: Perdagangan Sebagai Strategi Geopolitik 

CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa bukan sekadar perjanjian dagang. Bagi Uni Eropa, ini adalah langkah menuju otonomi strategis dan diversifikasi rantai pasok. Sedangkan, bagi Indonesia, ini adalah wujud nyata economic statecraft untuk memperluas ruang diplomasi dan menegaskan posisi sebagai middle power di tatanan global.

Opinion

Menghidupkan Diplomasi Lewat Perdagangan di Tengah Dinamika Global

Perdagangan internasional bagi sebuah negara termasuk Indonesia, sejatinya bukan sekadar pencapaian angka statistik, tetapi merupakan bagian dari diplomasi.

Opinion

Diplomasi Presiden Prabowo di Beijing dan Krisis Domestik 

Kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing di tengah kerusuhan domestik memunculkan perdebatan. Apakah langkah ini menunjukkan ketidakpekaan, atau justru strategi diplomasi untuk menjaga posisi Indonesia di panggung global?

Related Articles

Get in Touch

Get Weekly Insight

Subscribe for Exclusive Content

Read Our Latest Insight

SHT-1223-ASA-News-7-Risk-Management
Business Process
Panduan Lengkap Manajemen Risiko dalam Perusahaan Multinasional
images
Economy
Mengenal Market Cap sebagai Aspek Fundamental Perusahaan
Human Resource Strategic
Leadership
Tips Mempertahankan Stabilitas Bisnis dengan Peran Kepemimpinan
Get Weekly Insight