Artikel ini merupakan opini langsung dari Aaron Aristoteles Hanafi, Konsultan kami. Artikel ini telah ditelaah secara saksama untuk memberikan informasi yang akurat dan andal, serta menjamin standar kualitas, kredibilitas, dan kepercayaan yang tinggi.
Ditengah hiruk-pikuk persidangan umum PBB di New York dan pidato Presiden Prabowo Subianto mengenai posisi Indonesia terhadap Palestina dan Timur Tengah, ada aspek politik luar negeri Indonesia yang melewati perhatian publik. Pada 23 September 2025, Indonesia dan Uni Eropa akhirnya merampungkan perjanjian CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) setelah hampir satu dekade negosiasi yang tertunda.
Kesepakatan ini hadir di tengah kondisi tatanan global yang semakin terfragmentasi, yang diwarnai dengan tarif proteksionis dari pemerintahan Donald Trump, retaknya hubungan perdagangan antara UE dan Tiongkok, serta runtuhnya konsensus multilateral. Di era ini, ekonomi bukan lagi ruang netral yang bebas politik, melainkan medan kontestasi kepentingan politik.
CEPA mencerminkan dua maneuver strategis bagi Uni Eropa dan Indonesia. Bagi Uni Eropa, CEPA dengan Indonesia menjadi instrumen yang menandakan otonomi strategis Brussels untuk mengurangi ketergantungan eksternal dengan AS dan Tiongkok. Bagi Indonesia, CEPA adalah praktik nyata economic statecraft, yang berarti penggunaan instrumen ekonomi untuk memperluas ruang gerak geopolitik sebagai middle power.
Dalam dunia pasca-hegemonik, di mana tidak ada arsitek struktur internasional yang tunggal, stabilitas tidak muncul dari norma universal melainkan dari tata ulang struktur kekuatan yang dijalankan secara kalkulatif dan pragmatis melalui instrumen konkret. Perdagangan adalah salah satu bentuk upaya tersebut
Baca Juga: Menghidupkan Diplomasi Lewat Perdagangan di Tengah Dinamika Global
Uni Eropa saat ini menghadapi dilema struktural. Untuk mendukung transisi energinya dan menjaga daya saing industri, UE perlu memastikan pasokan stabil atas bahan baku strategis seperti nikel, mineral hijau, dan produk agrikultur.
Dalam konteks ini, Indonesia muncul sebagai mitra yang secara geografis penting dan secara ekonomi relevan. Melalui CEPA, Uni Eropa menawarkan penghapusan tarif hingga 98 persen produk, termasuk potensi penghematan sebesar 600 juta euro per tahun bagi eksportirnya.
Namun nilai strategis CEPA melampaui angka perdagangan. Bagi UE, kesepakatan ini adalah bagian dari strategi diversifikasi rantai pasok. CEPA dibentuk untuk mengurangi kerentanan (dikenal juga sebagai de-risking) lewat perluasan mitra dagang yang lebih sejalan secara normatif dan strategis. CEPA mencerminkan bentuk baru dari diplomasi ekonomi.
Alih-alih mengandalkan multilateralisme konvensional, UE kini memprioritaskan hubungan yang disebut friendshoring, yaitu menguatkan interdependensi dengan negara-negara yang dianggap aman secara politik. Dalam lanskap global yang penuh ketidakpastian hegemonik, perdagangan kini menjadi alat perluasan ruang gerak strategis. Uni Eropa tidak hanya mencari pasar, tetapi kestabilan dan kendali atas masa depannya sendiri.
Bagi Indonesia, CEPA bukan sekadar jawaban atas tawaran dari Uni Eropa. CEPA adalah manifestasi dari strategi diplomasi Indonesia untuk membuka ruang berkerjasama dengan semua blok (Indonesia sudah menjadi bagian dari RCEP, BRICS, IPEF), tanpa harus memilih satu terhadap yang lain. Melalui langkah ini, Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah objek perdagangan yang semata-mata dipilih, melainkan sebuah aktor yang memiliki agensi untuk membuka ruang gerak posisinya sendiri.
Strategi ini merupakan evolusi modern dari prinsip bebas aktif. Indonesia menunjukan bahwa bebas aktif bukanlah semata-mata netralitas semata, melainkan keseimbangan taktis (tactical equilibrium) yang dikarakterisasikan sebagai kemampuan untuk menavigasi tekanan besar sambil mempertahankan ruang gerak.
Sejarah panjang Indonesia sebagai objek eksploitasi perdagangan global, mulai dari rempah-rempah zaman kolonial, minyak, hingga CPO dan nikel, telah membentuk kesadaran bahwa ketergantungan tunggal selalu membawa kerentanan.
Melalui CEPA, Indonesia tidak lagi hanya menjadi partisipan dalam jaringan perdagangan global. Indonesia mendesain relasi strategis dan memposisikan statusnya sebagai aktor arsitektural yang bisa mempengaruhi tatanan regional dan global.
Posisi Indonesia di ASEAN pun kian diperkuat dengan menjadi katalis koneksi transregional, memperluas pengaruh antara global north dan global south. Dalam sistem multipolar tanpa kekuatan tunggal, Indonesia tidak perlu memilih blok tapi cukup memilih posisi. Ini adalah seni diplomasi middle power di dalam tatanan dunia yang penuh ketidakpastian.
Namun, pengaruh tidak dibangun hanya dengan posisi. Pengaruh diplomatik harus disertai dengan kemampuan mengelola peluang sekaligus mengantisipasi jebakan strategis. CEPA memberi Indonesia akses ke pasar Eropa yang bernilai tinggi, membuka ruang bagi ekspor produk olahan dan peluang investasi di sektor energi hijau dan manufaktur berkelanjutan. Dalam panggung global, kemitraan ini memperkuat posisi Indonesia sebagai aktor yang mampu menjalin hubungan setara dengan kekuatan normatif seperti Uni Eropa.
Namun dibalik prospek yang positif, masih terdapat risiko. Regulasi lingkungan UE seperti EUDR dan Renewable Energy Directive masih berpotensi menjadi alat hambatan perdagangan netral. Petani kecil terancam tersingkir karena ketimpangan akses terhadap teknologi pelacakan dan sertifikasi.
Jika Indonesia hanya mengikuti arus norma yang dibentuk pihak luar, maka CEPA bisa menjelma menjadi kelanjutan dari pola kolonial, di mana Indonesia hanya hadir sebagai pemasok bahan mentah tanpa kuasa atas standar. Situasi ini menuntut kebijakan perdagangan yang tidak hanya adaptif, tetapi juga harus memiliki kapasitas untuk membentuk strategi. Strategi diplomatik harus bertransformasi dari defensif menjadi normatif. Kehadiran Indonesia di Brussels perlu diperkuat. Indonesia tidak hanya bisa sekadar melobi, tetapi untuk ikut merumuskan kebijakan dengan Komisi Eropa dan direktorat-direktorat nya yang terkait.
Dalam lanskap dunia yang tidak lagi dikendalikan oleh satu pusat kekuasaan, perdagangan bukan hanya urusan efisiensi, tetapi arena pertarungan kepentingan. Kekuatan sejati tidak diukur dari volume ekspor, melainkan dari sejauh mana sebuah negara mampu membentuk arsitektur sistem yang mengatur ekspor itu sendiri. CEPA dapat menjadi model baru bagi diplomasi ekonomi yang tidak dibangun atas kedekatan ideologi, tetapi atas kalkulasi pragmatis dan kebutuhan akan stabilitas.
Namun perjanjian ini hanya akan bermakna jika diiringi dengan transformasi peran. Indonesia tidak lagi cukup berada di posisi penerima aturan. Indonesia harus menjadi arsitek dalam membentuk norma perdagangan baru.
Indonesia yang secara historis diperlakukan sebagai objek perdagangan kini berkesempatan mengambil peran sebagai arsitektur kekuasaan perdagangan global. Dalam dunia yang bergerak tanpa kejelasan, hanya negara yang mampu membaca arah lebih awal yang akan bertahan.
 
				 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													 
													